Klarifikasi Atas Disinformasi Foto Pertemuan Najwa Shibab Dengan Tommy Soeharto, Lieus, Dan Ichsanuddin Noorsy - TEGALSIANA

Latest

INDONESIAN ENGLISH AND JAVANESE

Saturday

Klarifikasi Atas Disinformasi Foto Pertemuan Najwa Shibab Dengan Tommy Soeharto, Lieus, Dan Ichsanuddin Noorsy


Sikap editorial Narasi TV dan Mata Najwa terkait situasi terakhir politik Indonesia, terutama isu KPK dan demonstrasi mahasiswa, menciptakan saya, Najwa Shihab, didiskreditkan lewat banyak sekali disinformasi.

Foto usang saya dengan Tommy Soeharto, Lieus Sungkharisma dan Ichsanuddin Noorsy diedarkan kembali bersama capture-an sebuah isu berjudul : “Kabar Mengagetkan, Najwa Shihab, Tommy Soeharto, Noorsy Dan Lieus Akhirnya Bersepakat Untuk….”

Saya diframing sebagai antek Orde Baru sebab bertemu Tommy Soeharto dan sebab ayah saya, Prof. Quraish Shihab, pernah diangkat sebagai Menteri Agama di kurun Soeharto.

Tidak hanya itu, perilaku editorial Narasi TV dan Mata Najwa terkait KPK juga di-framing sebagai bentuk konflik kepentingan saya dengan KPK sebab suami saya, Ibrahim Assegaf, partner di lawfirm Assegaf Hamzah & Partners yang didirikan — salah satunya oleh — Chandra Hamzah, mantan komisioner KPK.

Foto yang beredar itu diambil pada 22 November 2017.

Saya tiba bersama kru Narasi TV, termasuk CEO dan Pemimpin Redaksi Narasi TV ketika itu yaitu Catharina Davy dan Olivia Rosalia.

Tujuan pertemuan: menjajaki sekaligus mengundang kehadiran Tommy di Catatan Najwa (saat itu saya sedang jeda dari televisi).

Tommy ketika itu diundang dalam status sebagai pendiri Partai Berkarya yang gres saja lolos verifikasi KPU dan dinyatakan sebagai akseptor Pemilu 2019.

Tommy menyatakan kesediaannya ketika itu, namun perlu mencari agenda yang tepat.

Tommy berkali-kali menunda agenda yang sempat disepakati.

Tommy gres sanggup diwawancarai di kediamannya pada 5 Juli 2018.

Hasil wawancara itu tayang di Mata Najwa pada 11 Juli 2018 dengan tajuk “Siapa Rindu Soeharto”.

Tommy muncul dalam tiga segmen pertama. Dalam tiga segmen itu, saya menyoal sejumlah topik penting terkait rekam jejak Tommy dan kasus-kasus korupsi serta pelanggaran HAM yang dilakukan ayahandanya.

Segmen 1 dibuka dengan memperkenalkan Tommy sebagai “dalang pembunuhan Hakim Syaifuddin”. Saya juga mencecar klaim Tommy soal masyarakat merindukan kurun Orde Baru di segmen ketiga.

Selain Tommy, hadir narasumber lain menyerupai Priyo Budi Santoso sebagai Sekjen Partai Berkarya.

Saya juga mengundang Haris Azhar, seorang pegiat HAM, untuk menguji klaim-klaim yang disodorkan Tommy maupun Priyo.

Disinformasi yang disebarkan ialah serangan personal yang jahat.

Tuduhan “antek Orde Baru” sama sekali tidak berdasar sebab perilaku saya terperinci dalam menyangkut warisan-warisan Orde Baru.

Tidak terbilang produk-produk jurnalistik Mata Najwa yang berisi perilaku kritis terhadap Orde Baru dan itu juga tercermin dalam episode “Siapa Rindu Soeharto?”

Saya sangat keberatan perilaku personal saya sebagai jurnalis dikait-kaitkan dengan keluarga saya.

Selain personal, disinformasi ini juga merupakan serangan terhadap kerja-kerja jurnalistik.

Tidak terbilang cacian terhadap media yang memberitakan topik mengenai revisi UU KPK dan demonstrasi mahasiswa ahad lalu.

Saya, Mata Najwa dan Narasi TV tidak sendirian dalam hal ini.

Kritik kepada pers terperinci diperbolehkan, bahkan penting, bagi demokrasi, juga bagi pers.

Tidak ada pers yang sempurna. Tetapi jikalau yang dilakukan ialah serangan personal, ad hominem, apalagi sampai membawa-bawa keluarga, persoalannya menjadi sangat berbeda.

Seseorang menulis serangan kepada saya sebagai kill the messenger.

Saya menghargai pendapat tersebut, kendati sejujurnya saya tidak berpikir sejauh itu sebab toh saya masih sanggup bekerja dan beraktifitas menyerupai biasa.

Saya menganggap hal ini sebagai sesuatu yang kontraproduktif bagi perjuangan merawat ruang publik yang sehat, yang menghargai perbedaan pendapat, yang tidak dicemari oleh doxing, disinformasi, dan pembunuhan karakter.

Hari-hari ini Indonesia memang sedang dilanda kompleksitas persoalan.

Hal itu hendaknya disikapi dengan memperbanyak dialog: antara para elit dengan warga, antara warga dengan warga, antara sesama kita.

Dalam episode Mata Najwa terakhir, bahkan saya membuka topik wacana perlunya pemerintah berdialog dengan para mahasiswa yang ketika itu saya undang.

Bahwa pertemuan itu batal ialah problem lain. Saat itu saya hanya membuka kemungkinan hadirnya percakapan yang setara sebab saya percaya pers punya tanggungjawab merawat ruang publik sebagai arena yang terbuka bagi perdebatan, aneka pikiran, ragam kegelisahan, sampai kekecewaan.

28 September 2019

*Najwa Shihab*

No comments:

Post a Comment

puisi tegalan